Kamis, 04 Februari 2010

Amenangi Jaman Maling


By Budiyono AF

JIKA ingin jadi maling yang tak tampak di hadapan banyak orang, Anda tak perlu mengamalkan ilmu ngilang dipanegaranan. Cukup berkumpul dengan para maling, sosok Anda akan tersamar. Dan karena saat ini kita sedang amenangi jaman maling, ke mana pun bergerak tindakan “mengambil milik orang lain” Anda tidak akan pernah digubris orang. Ya, karena setiap orang sibuk menciptakan strategi untuk mencuri, merampok, atau menggarong, mereka tidak memiliki waktu lagi untuk memperhatikan gerak-gerik orang lain. Mungkin sesekali mereka akan melakukan sesuatu yang kita sebut sebagai “maling teriak maling” atau maling ngumpet wedi silit. Akan tetapi teriakan semacam itu sesungguhnya merupakan cara terindah maling untuk mengkritik dirinya sendiri. Karena itu tidak perlu heran jika hari ini sukses menjadi maling, maka kali lain tidak mustahil Anda akan sukses pula menjadi korban maling alias kemalingan.

Juga tidak perlu kaget jika pada suatu saat memelesetkan “Amenangi Jaman Edan” Ranggawarsita, ada penyair yang bilang, “Amenangi jaman maling, ayo padha dadi maling/ sebab yen tan melu nglakoni maling/ sira kang bakal dimaling// Amenangi jaman maling/ madhep ngalor dadi maling/ madhep ngidul dadi maling// Mula sira padha elinga: maling ra maling tetepa maling/ Sebab sabeja-bejane kang ora maling/ isih beja kang maling kanti waspada.

Ee, jangan tertawa sinis dulu membaca puisi mbeling semacam itu. Maling, sebagaimana telah ditemukan oleh budayawan Jakob Sumarjo, dalam bahasa Jawa memiliki tak kurang dari 20 arti. Itu berarti Jawa memang memiliki kultur maling yang kental.

Ada yang disebut sebagai maling arep (meminjam tapi tak mengembalikan), maling caluwed (penadah), maling raja peni (dulu mencuri milik raja, sekarang milik negara), maling timpuh (pembangun yang nyolong material), maling tunggal labet (ikut menempati rumah maling), maling sekutu (berkawan dengan maling), dan maling sadu (orang-orang yang menyamar sebagai sosok suci tetapi malah memeras orang yang hendak ditolong). Juga ada istilah maling samun (menemukan barang orang lain tetapi tak melapor ke polisi) dan maling lamat (berjalan dalam gelap tanpa membawa penerangan).

Ah… istilah semacam itu sudah sangat jadul, katrok, alias ketinggalan zaman. Seharusnya ada kosakata baru yang menggambarkan fenomena maling masa kini. Misalnya saja jika mencuri data komputer orang lain, apakah Anda akan disebut sebagai maling maya? Apakah jika mencuri secara bersama-sama di kantor, Anda akan disebut sebagai maling kompak? Apakah jika membobol bank dengan sistem canggih, Anda akan disebut sebagai maling intelek? Atau jika mencuri rel kereta api tetapi untuk kepentingan pemberontakan terhadap negara, Anda akan disebut sebagai maling kudeta? Atau jika ada pencuri yang juga mengambil milik orang lain di rumah-rumah kumuh, apakah ia layak disebut sebagai maling kuldesak?

Wah, saya tidak terlalu tertarik menjadi peneliti perilaku maling modern. Yang saya tahu sekarang kian banyak maling dan makin beragam yang dimaling. Dari maling ruang hingga waktu sampai maling rel hingga peralatan sinyal kereta. Dari maling yang tak membuahkan korban sampai maling yang bisa membunuh ratusan manusia.

Saya justru tertarik untuk mencari motif-motif tersembunyi atau terang-terangan yang menyebabkan seseorang atau kelompok menjadi maling atau terlibat dalam tindak perbanditan?

Dalam Bandit-bandit Pedesaan Jawa; Studi Historis 1850-1942, Suhartono menyatakan, “Sasaran dalam perbanditan pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, bangunan dan lahan antara lain, gedung, gudang, kebun, barak, bedeng, saluran irigasi dll. Kedua, person atau orang-orang baik, orang asing maupun pribumi yang melakukan eksploitasi dan membantunya. Mereka adalah tuan tanah partikelir (landheer), penyewa tanah (landbuurder), rentenier dan pachter Cina, para kepala desa, demang, rangga, ngabehi, petinggi, bekel, dan petani kaya, serta pedagang kaya.”

Dalam pemahaman Suhartono, memang merekalah yang jelas-jelas merugikan petani dan menyebabkan kemiskinan. “Ditambah lagi dengan berbagai tekanan kerja dan pajak yang datangnya tentu dari mereka. Karena itu perbanditan adalah salah satu jawabannya dan alasan ekonomi bagi petani adalah conditio sine qua non sebagai jalan keluar untuk menghilangkan peasant view of bad life.”

Persoalannya kemudian motif-motif permalingan saat ini masih semacam itu? Apakah ia merupakan gerakan sosial untuk melawan negara yang adigung, adigang, adiguna? Apakah ia merupakan refleksi dari ketidaksanggupan negara menyejahterakan rakyatnya? Siapa pun yang ingin hidup dalam situasi yang tata tentrem kerta raharja harus segera mencari solusi dari pertanyaan-pertanyaan itu.

Jika tidak, apa boleh buat kita akan terus-menerus hidup dalam zaman permalingan yang tak habis-habis. Zaman ketika kecu tak merasa diburu. Zaman ketika perampok tak kapok dogorok. Zaman ketika grayak tertawa ngakak menatap para korban yang merasa tak sedang dijarah dan tetap tidur dengan kompak. Ah, jangan-jangan kita merasa tak kemalingan karena kita sendiri adalah maling-maling sejati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar